Sunday, October 12, 2008

Seri Pilkada

Melawan Incumbent

By: Reza Pahlevi, SKM


Pilkada Kota Palembang berakhir dengan kekalahan calon usungan dari PKS (SIR) dan kemenangan calon usungan dari PDIP (HERO). Banyak hal yang harus dianalisa dari proses yang terjadi di lapangan. Kekalahan ini setidaknya kembali mengulangi kisah kegagalan calon-calon usungan PKS dalam mengalahkan calon incumbent pada sebuah pilkada. Sebut saja Pilkada DKI, Pilkada Banten, Pilkada Bandung, dll.

Sulit memang mengalahkan calon incumbent. Ada banyak modus kecurangan yang sering dilakukan para Incumbet ketika mereka maju kembali dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Harapan kecurangan-kecurangan ini dapat diminimalisasi (bahkan dihilangkan) membuncah, ketika DPR menges
ahkan UU Pemilu yang mewajibkan calon Incumbent untuk mundur dari jabatannya ketika ingin mencalonkan kembali pada sebuah pemilihan kepala daerah.

Bila kita membedah ke
curangan-kecurangan calon incumbent yang terjadi dilapangan, niscaya kita pasti akan “geleng-geleng kepala”. Karena terlihat sekali demokrasi di negeri ini masih bersifat procedural dan belum menyentuh sisi substantive, artinya ketika calon seorang incumbent maju melakukan pencalonan ia sudah “wajib menang” dan siap dengan berbagai macam perangkat-perangkat kecurangannya.

Adapun modus-modus kecurangan yang sering dilakukan adalah; Mengendalikan aparat birok
rasi. Menyalahgunakan aturan-aturan pemerintahan untuk menjegal lawan politik, menggunakan fasilitas-fasilitas kedinasan untuk kepentingan pencalonan (Uang, Proyek pemerintahan, dll), melakukan permainan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) melalui aparat-aparatnya ada di lapangan (Catatan Sipil, Camat, Lurah, RT), mengangkat aparat birokrasi yang bisa “disetir” menjadi petugas-petugas penyelenggara pilkada (KPPS, PPS, PPK).

Pertama, Mengendalikan aparat birokrasi. PNS mendadak sibuk menjadi tim sukses calon kepala daerah adalah pemandangan yang lumrah ditemui pada masa pilkada. Aktivitas memasang atribut, mengadakan pertemuan untuk menggalang dukungan merupakan hal yang sering ditemui terjadi pada masa itu. Ironis memang, ketika kita mengetahui harusnya PNS berlaku netral dan non partisan dalam sebuah pemilihan (baik itu pilkada ataupun pemilu). Keterlibatan PNS dalam tim sukses calon ini setidaknya menunjukkan karakter masyarakat kita kebanyakan yang opurtunis dan pragmatis dalam berfikir. Mereka berfikir dengan menjadi tim sukses calon incumbent akan mengamankan posisi jabatan mereka (bahkan mendapatkan promosi kenaikan jabatan), ketika calon yang mereka perjuangkan ini menang. Ancaman oleh atasan kadang juga menjadi salah satu faktor yang mendorong PNS berlaku tidak netral dalam kasus ini.

Kedua, Menyalahgunakan aturan-aturan pemerintahan untuk menjegal lawan politik. Hal ini bisa dilakukan lewat pemberlakuan perda atau SK Kepala Daerah yang tentunya merugikan lawan politik para Incumbent. Menghalang-halangi kegiatan sosial yang dilakukan calon lain ataupun melucuti spanduk, baliho, banner ataupun alat-alat sosialsasi lain lewat SK Walikota terkait dengan keindahan kota atau daerah bisa menjadi pilihan cara untuk menjegal lawan politik Incumbet. Pelaksanaan kebijakan di lapangan tentunya dilakukan melalaui aparat-aparat pemerintahan terkait, seperti Pol PP, Camat maupun Lurah.

Ketiga, Menggunakan fasilitas-fasilitas kedinasan untuk kepentingan pencalonan (Uang, Proyek pemerintahan, dll). Peresmian proyek (Contohnya proyek P2KP, perbaikan jalan, dll) ataupun pemberian bantuan pemerintah kerapkali di salah gunakan menjadi arena kampanye calon incumbent. Padahal uang yang diberikan ataupun proyek yang diresmikan dananya sudah pasti bersumber dari APBD yang memang sudah lama dialokasikan. Pelaksanaan program pemerintah yang populis di mata rakyat pada akhir-akhir masa jabatan tentu saja mudah ditebak sebagai manuver calon incumbent dalam memanfaatkan fasilitas kedinasan untuk kampanye pribadinya. Contohnya saja selama kurun waktu kurang lebih 4 tahun pemerintahan tidak ada program berobat gratis di pelayanan-pelayanan kesehatan, tapi beberapa bulan sebelum mencalonkan diberlakukanlah program berobat gratis yang populis di mata rakyat tersebut. Tentu saja mudah mencium bau tidak sedap dari kebijakan-kebijakan yang serba populis ini.

Keempat, Melakukan permainan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) melalui aparat-aparatnya ada di lapangan (Catatan Sipil, Camat, Lurah, RT). Kecurangan ini biasanya dilakukan oleh calon incumbent ketika usaha-usahanya untuk menjegal lawan politiknya dirasa masih kurang optimal. Permainan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) ini biasanya ditujukan untuk memperbanyak jumlah golongan putih (Golput) pada kantung-kantung suara yang mendukung lawan politiknya. Sejatinya, cara ini sebenarnya merupakan upaya sistematis “pendzholiman” dan perampasan hak-hak demokrasi warga negara oleh tangan-tangan aparat birokrasi pemerintahan.

Kelima, Mengangkat aparat birokrasi yang bisa “disetir” menjadi petugas-petugas penyelenggara pilkada (KPPS, PPS, PPK). Langkah terakhir yang bisa calon incumbent lakukan adalah mengangkat orang yang patuh dan bisa diajak kompromi dalam memanipulasi hasil pencoblosan. Hal ini mengingatkan kita pada pemilu era rezim orde baru yang sarat manipulasi dan kecurangan, baik dalam proses pencoblosan ataupun pada proses penghitungan suara.

Semua hal di atas sesungguhnya merupakan hal yang seringkali berulang. Maka seharusnya, hal-hal ini dapat diantisipasi oleh para perumus kebijakan pemenangan dakwah dalam pemilukada. Kita tidak ingin setiap pilkada yang dilaksanakan akhirnya hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin culas yang tidak bermoral dan beretika. Hingga akhirnya kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan yang selama ini diimpikan oleh masyarakat menjadi utopia belaka, wallahu ’alam