Friday, November 9, 2007

Refleksi Kemenangan Dakwah di Pilkada DKI

Oleh: Reza Pahlevi
(PK Sejahtera DPC Sako Palembang)
Napak Tilas Siroh Rasulullah

Mengalah untuk menang, mungkin itulah satu-satunya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan peristiwa perang mu’tah di zaman Rasulullah Saw. Dimana ketika itu pasukan muslim dipaksa mundur ke Madinah sebagai strategi untuk menyelamatkan eksistensi perjuangan saat itu. Khalid bin Walid yang menjadi salah satu aktor utama peristiwa ini berijtihad mengambil strategi untuk mundur hingga akhirnya kembali ke Madinah. Bukanlah cacian dan makian yang didapatkan pasukan muslim pada saat itu. Namun sebaliknya, pujian dan sanjungan disematkan Rasulullah Saw pada mereka. Rasulullah Saw yang pada saat itu tidak mengikuti peperangan memberikan julukan ”Syaifullah” pada Khalid bin Walid sang panglima pada saat itu.
Kita dapat melihat kecerdasan Rasulullah Saw dalam peristiwa ini, beliau melihat peristiwa mundurnya pasukan muslim ini dari kacamata yang terbalik. Analisa politik beliau yang tajam dapat membaca semua peluang yang ada di balik peristiwa tersebut. Ketika kita melakukan flash back dari peristiwa ini, kita akan memahami mengapa Rasululah melakukan semua hal tesebut. Perang Mu’tah ini diawali sebuah peristiwa pembunuhan utusan kaum muslimin yang dilakukan oleh gubernur Romawi di Basrah pada saat itu. Tentu saja hal ini tidaklah sesuai dengan semua konsensus (baik yang tertulis maupun tidak) yang ada, bahwa utusan diplomatik merupakan pihak yang tidak boleh dicederai apalagi dibunuh. Hal inilah yang akhirnya memicu keluarnya perintah Rasulullah Saw untuk menginvasi mu’tah pada saat itu.
Untuk menyerang Mu’tah, Rasulullah Saw mengerahkan pasukan yang berjumlah 3000 orang yang pada saat itu dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Jumlah ini tentunya amatlah kecil, ketika kita membandingkannya dengan jumlah pasukan kuffar pada saat itu. Dua ratus ribu pasukan musuh ternyata sudah menanti pasukan muslim pada saat itu. Perlu diketahui pasukan musuh pada saat itu merupakan pasukan koalisi multinasional dengan komposisi seratus ribu merupakan pasukan romawi dan seratus ribu pasukan lagi berasal dari kaum Nasrani Arab.
Peristiwa ini secara kasat mata berakhir dengan terpukul mundurnya pasukan muslim yang berjumlah kecil ini ke Madinah. Namun ternyata bukanlah kekalahan yang memalukan yang mereka bawa ke Madinah. Pasukan musuh pada saat itu ternyata mendapat kerugian yang tidak sedikit pada saat itu. Hal itu sudah cukup menjadi bukti betapa kekuatan da’wah islamiyah pada saat itu merupakan sebuah entitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh musuh-musuh da’wah pada saat itu.

Kaitannya Dengan DKI?
Sejarah akan selalu berulang. Walaupun dengan dimensi yang berbeda baik dari segi tempat dan waktu, namun akan selalu mengalami pengulangan dalam sudut subtantif. Pilkada DKI dengan segala dinamikanya menjadi sebuah bukti aktual bahwa hal ini adalah sebuah keniscayaan. Perang Mu’tah akhirnya kembali berulang dalam peristiwa pilkada DKI. Kalah secara kasat mata namun menang secara da’wah. Hal inilah yang kita dapatkan ketika menilik perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera di pilkada DKI awal Agustus 2007 kemarin. Mengusung pasangan Adang-Dani, PKS berhasil meraup 43% suara, hanya kalah 14% dari perolehan 57% suara Fauzi-Prijanto yang diusung oleh 20 partai.
Fauzi Bowo menang, Adang kalah, PKS menang, judul inilah yang banyak menjadi headline media cetak nasional dan lokal satu hari setelah pencoblosan dilangsungkan. Opini inilah yang menjadi perbincangan di kalangan pengamat politik saat ini. Partai Keadilan Sejahtera berhasil berbuat banyak di tengah kepungan koalisi 20 partai pendukung status quo. Perolehan 43% suara pasangan adang-dani sudah cukup membuat koalisi 20 partai itu berdarah-darah. Dalam kacamata pengamat politik hasil dalam pilkada DKI ini merupakan warning bahwa PKS akan melakukan lompatan-lomptan yang lebih besar setelah ini. ”PKS sedang melakukan pemanasan untuk event yang lebih besar yakni pemilu 2009” ujar seorang direktur sebuah lembaga riset dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun nasional.
Pandangan para pengamat politik ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru bagi parpol-parpol lain yang menjadi kompetitor PKS. Melalui para elitenya partai-partai lain sesungguhnya sudah membaca tren ancaman PKS ini sejak lama. Hal ini secara aktual akhirnya terbukti dengan berkoalisinya 20 parpol pada pilkada DKI kemarin. Bayangkan saja koalisi parpol sebanyak ini belum pernah terjadi dalam sejarah pemilihan kepala daerah di indonesia (mungkin juga dunia). Hingga akhirnya koalisi ini menempatkan PKS sebagai ”Common Enemy”. Betapa takutnya mereka hingga akhirnya memilih cara keroyokan untuk berkompetisi dalam pesta demokrasi ini. Tak hanya cukup keroyokan, cara-cara kotor seperti mengurangi jumlah pemilih dan black campaign-pun masih dilakukan.

Penutup (Yakinlah akan kemenangan da’wah...!)
Kalah untuk kemudian menang. Hikmah inilah yang dapat kita petik dari kedua peristiwa ini. Seperti perang Mu’tah yang merupakan salah satu awalan dari kemenangan-kemenangan da’wah Rasulullah Saw. Pilkada DKI-pun akan menjadi salah satu awalan bagi kemenangan-kemenangan da’wah dari partai da’wah ini. Rasa optimis tidaklah boleh pudar dalam setiap gerak dan langkah para kader da’wah karena kemenangan da’wah adalah sebuah keniscayaan dan bukanlah sebuah utopia.
Sejarah akan berulang dan terus berulang, hingga akhirnya da’wah ini dapat tegak menggapai kemenangan. Waktulah yang akan menjawab kapan kemenangan itu akan sampai, kita hanya bisa beramal dan beramal, hanya Allah, Rasul, dan orang-orang berimanlah yang menjadi saksi. Wallahu ’alam.
(Tulisan ini didedikasikan untuk para kader da’wah di DKI yang telah berkeringat dan berdarah-darah dalam jihad siyasi pilkada DKI agustus 2007, jazakumullah, semoga Allah SWT selalu meneguhkan langkah-langkah kita, amiin)